Cari Blog Ini

Ini Dia Alasan Valentino Rossi ke Ducati Kesepakatan Rossi dengan Ducati sudah tercapai sejak Juli 2010.

VIVAnews - Presiden Ducati Gabriele del Torchio mengungkapkan alasan utama Valentino Rossi bergabung dengan timnya. Del Torchio juga mengaku kesepakatan Ducati dengan Rossi sudah terjadi sejak Juli 2010 lalu.

Rossi telah resmi bergabung dengan Ducati setelah menandatangani kontrak selama dua tahun, Minggu 15 Agustus 2010. Rossi akan menungganggi Ducati mulai musim MotoGP 2011. Dan kepindahan ini cukup bersejarah karena menggabungkan tim dan rider terbaik dari Italia.

Meski The Doctor belum berbicara mengenai alasan kepindahannya ke Ducati setelah tujuh tahun membela FIAT Yamaha, Del Torchio yakin alasan utama Rossi menerima pinangan Ducati karena hubungan yang erat dengan Manajer Umum Ducati Filippo Preziosi.

"Saya yakin alasan utama karena hubungan yang dia (Rossi) miliki dengan Filippo Preziosi. Saya percaya itu adalah kunci utama. Ini bukan masalah uang. Menurut saya Valentino akan bangga bisa membalap dengan motor asal Italia, tapi untuk saat ini hubungan dengan Filippo memainkan peran penting," ujar Del Torchio seperti dikutip Autosport, Minggu 15 Agustus 2010.

Del Torchio kemudian menegaskan negosiasi Ducati dengan Rossi sudah terjadi sejak lama dan kesepakatan tercapai Juli 2010 lalu. Rossi sendiri diharapkan akan mulai adaptasi dengan motor Ducati secepatnya setelah seri terakhir MotoGP musim ini di Valencia, November 2010.

"Keputusan bukan di tangan kami, tapi kami mengharapkan Yamaha melepas dia di akhir tahun. Ini keputusan mereka bukan kami. Satu-satu hal yang bisa kami katakan adalah kami sudah melepas Casey Stoner. Dia akan dilepas ke Honda setelah seri Valencia. Kami masih dalam pembicaraan, jadi belum ada keputusan final," papar Del Torchio.

"Pada dasarnya kami memutuskan untuk bekerjasama sejak Juli, tapi kontrak baru diselesaikan beberapa hari lalu. Ini keputusan yang sangat terbaru, itu mengapa kami mengumumkannya di Brno," tutup Del Torchio.

 • VIVAnews

Valentino Rossi diatas Desmosedici GP11 Carbon http://ducatimonster.wordpress.com/

Garuda Pancasila

Lambang R.I.
Garuda Pancasila merupakan lambang negara Indonesia dan nama sebuah lagu nasional Indonesia. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno. Garuda merupakan burung dalam mitologi Hindu, sedangkan Pancasila merupakan dasar filosofi negara Indonesia.
Lambang negara Garuda diatur penggunaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1958 [1]

Makna Lambang Garuda Pancasila

Pancasila Perisai.svg
Pancasila Sila 1 Star.svg
Pancasila Sila 2 Chain.svg
Pancasila Sila 3 Banyan Tree.svg
Pancasila Sila 4 Buffalo's Head.svg
Pancasila Sila 5 Rice and Cotton.svg
  • Burung Garuda melambangkan kekuatan
    • Warna emas pada burung Garuda melambangkan kejayaan
  • Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
    • Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila, yaitu:
Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa (sila ke-1)
Rantai melambangkan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (sila ke-2)
Pohon Beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia (sila ke-3)
Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan (sila ke-4)
Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (sila ke-5)
    • Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah berarti berani dan putih berarti suci
    • Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa
  • Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara lain:
    • Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
    • Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
    • Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
    • Jumlah bulu di leher berjumlah 45
  • Pita yg dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti "walaupun berbeda beda, tetapi tetap satu".

Lagu: Garuda Pancasila

Pencipta / Pengarang Lirik dan Lagu Garuda Pancasila: Sudharnoto
Garuda pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu
Pancasila dasar negara
Rakyat adil makmur sentosa
Pribadi bangsaku
Ayo maju maju
Ayo maju maju
Ayo maju maju
  
[1] http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Garuda_Pancasila

Moral Islam

Lima Nilai Moral Islam dikenal pula sebagai Sepuluh Perintah Tuhan versi Islam. Perintah-perintah ini tercantum dalam Al-Qur'an surat Al-An'aam 6:150-153 di mana Allah menyebutnya sebagai Jalan yang Lurus (Shirathal Mustaqim ):
Tauhid (Nilai Pembebasan)
  1. Katakanlah: "Bawalah ke mari saksi-saksi kamu yang dapat mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan yang kamu haramkan ini." Jika mereka mempersaksikan, maka janganlah kamu ikut (pula) menjadi saksi bersama mereka; dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka. Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
Nikah (Nilai Keluarga)
  2. berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan
  3. janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan
  4. janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji (homoseks, seks bebas dan incest), baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan
Hayat (Nilai Kemanusiaan)
  5. janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).
Adil (Nilai Keadilan)
  6. Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
  7. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.
  8. Dan apabila kamu bersaksi, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu), dan
Amanah (Nilai Kejujuran)
  9. penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,
  10. dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.
Janji Allah termasuk yang disebutkan dalam QS Al-Qur'an surat 36:60 dan 9:111.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Moral_Islam

Pancasila (Buddha)

Pancasila adalah ajaran dasar moral agama Buddha, yang ditaati oleh pengikut Siddhartha Gautama. Kata Pancasila ini berasal dari Bahasa Sansekerta pañcaśīla dan berarti adalah Lima Tingkah Laku Baik.
Dalam agama Buddha, mentaati Pancasila dianggap merupakan sebuah dharma.
Pancasila berbunyi sebagai berikut:
  1. Aku bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan) guna mencapai samadi.
  2. Aku bertekad melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan (nilai keadilan)guna mencapai samadi.
  3. Aku bertekad melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila (berzinah, menggauli suami/istri orang lain, nilai keluarga)guna mencapai samadi.
  4. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar /berbohong, berdusta, fitnah, omongkosong (nilai kejujuran)guna mencapai samadi.
  5. Aku bertekad untuk melatih diri menghindari segala minuman dan makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan (nilai pembebasan)guna mencapai samadi.
Dalam bahasa Pali, sila-sila ini adalah sebagai berikut:
  1. Pānātipātā veramani sikkhapadam samādiyāmi
  2. Adinnādānā veramani sikkhapadam samādiyāmi
  3. Kāmesu micchācāra veramani sikkhapadam samādiyāmi
  4. Musāvāda veramani sikkhapadam samādiyāmi
  5. Surā meraya majja pamādatthānā veramani sikkhapadam samādiyāmi
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila_Buddhis

Timnas Indonesia AFF 2010


Susunan Pemain Timnas Indonesia 07 Desember 2010

Markus H.M , M. Nasuha, M. Roby, Maman Abdurrahman, Zulkifli Syukur, M. Ridwan, Oktovianus Maniani/ Arif Suyono, Eka Ramdhani/ M. Bustomi, Tony Sucipto; Christian Gonzales, Irfan Bachdim/ Bambang Pamungkas.

Timnas Indonesia : 2 vs Timnas Thailand : 1

Jakarta 07 Desember 2010.
Pertandingan Sepak Bola Piala AFF 2010 berlangsung seru barusan berakhir dengan skor 2-1 di penyisihan Grup A Piala AFF 2010 untuk kemenangan Indonesia dan memaksa Thailand pulang kampung karena di pihak lain Malaysia berpesta gol berhasil mengalahkan Laos 5-1, sehingga Malaysia menjadi runner up grup A mendampingi Indonesia.

Tim Nas Indonesia kebobolan pada babak kedua 1-0 untuk thailand, kemudia Indonesia lewat pemain gonzales diberi hadiah penalti kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bambang Pamungkas dan menjadi gol balasan bagi Timnas.

Gol kedua juga melalui penalti dan berakhir gol yang juga dilakukan oleh tendangan Bambang Pamungkas. Akhirnya Indonesia Menang 2-1. Selamat untuk Tim “Garuda” Indonesia.

25 Tahun Rivalitas Indonesia Vs Thailand (Data & Fakta)  

Euforia kemenangan Indonesia semalam terasa sangat luar biasa, dalam waktu normal (2×45 & extra time) dan dalam 25 tahun terakhir baru kali ini Indonesia bisa memetik kemenangan atas Thailand. 2 gol Bambang Pamungkas tidak saja menghapus trauma pertemuan dengan Thailand tetapi sukses menenggelamkam ambisi Thailand menapak kembali tahta ASEAN.
Sebelum partai semalam yang di menangkan Indonesia 2-1, sejak tahun 1971 Indonesia dan Thailand sudah bertemu sebanyak 29 kali dengan Indonesia menang sebanyak 8 kali, seri sekali dan Thailand menang 20 kali. Terakhir Indonesia menang (dalam waktu normal ) terjadi tahun 1985.
Dilihat dari rekor pertemuan dan prestasi di ASEAN tidak salah jika Thailand adalah momok bagi Indonesia. Sejak jaman Ricky Yakobi sampai Kurniawan DJ tim gajah putih sangat sulit takluk dari Garuda senior.
Periode 1985 sampai 1990
Tahun 1985 Indonesia dan Thailand bertemu 3 kali dalam 2 ajang yaitu Kualifikasi Piala Dunia dan Sea Games Bangkok 1985. Pertemuan pertama terjadi di Kualifikasi Piala Dunia 1986 di Jakarta, kala itu timnas Merah putih menang dengan skor 1-0. Pertemuan kedua di Bangkok Thailand timnas Indonesia kembali menekuk Thailand dengan skor yang sama 1-0. Indonesia lolos ke fase berikutnya sebelum di hentikan Korea Selatan, Korsel sendiri berhasil tampil di Putaran final Piala dunia.
Kekalahan Thailand kemudian dibalas di pesta Sea Games Bangkok bulan Desember 1985, ketika itu di semifinal tim kita dipermalukan dengan skor mencolok 0-7. Ini merupakan skor kekalahan terbesar Indonesia dari Thailand. Di Sea Games 1985 ini Thailand berhasil meraih Emas dan Indonesia pulang tanpa medali. Untungnya setahun kemudian Timnas kita dibawah komando Bertje Matulapelwa berhasil mencapai semifinal Asian Games 1986 di Seoul, Korsel.
Dua tahun kemudian di pesta Sea Games Jakarta 1987, Indonesia kembali bersua dengan Thailand di fase grup dengan skor 0-0. Dalam Sea Games ini timnas Indonesia meraih medali Emas setelah berhasil mengalahkan Malaysia lewat gol Ribut Waidi. Thailand sendiri hanya mendapat Perunggu.
Selanjutnya 1989 di Sea Games Kuala Lumpur Timnas Indonesia kembali berjumpa musuh bubuyutannya Thailand di perebutan medali Perunggu, hasilnya melalui drama adu penalti timnas Merah putih meraih medali Perunggu. Adu pinalti terjadi ketika kedua tim bermain seri 1-1, Indonesia unggul lebih dahulu melalui gol I Made Pasek Wijaya.
Periode 1991 sampai 2000
Manila tahun 1991 pada partai puncak Sea Games Indonesia berjumpa musuh abadinya Thailand. Sebelumnya di babak penyisihan Indonesia sukses menyapu 3 kemenangan yaitu Malaysia 2-0, Vietnam 1-0 dan Filipina 2-1. Di semifinal Mustaqim dkk mengalahkan Singapura melalui babak adu Penalti (4-2) sedangkan Thailand mengalahkan Filipina 6-2. Moment final waktu itu sangat mendebarkan, sepanjang permainan Thailand lebih dominan berkali-kali gawang Feryl Raymond Hattu terancam, tapi sampai extra time skor tetap 0-0. Tiba drama adu Penalti, melalui penendang ke-6 pemain pengganti Sudirman timnas kita bisa mengalahkan Thailand. Ini Emas kedua dalam pesta Sea Games.
Gagal lolos putaran final piala Asia Indonesia bersiap di ajang Sea Games, Thailand sendiri menjadi satu-satunya wakil Asia Tenggara di putaran final Piala Asia. Sebagai juara bertahan timnas kita yang didominasi pemain tua macam Ricky Yakobi, Bambang Nurdiansyah, Alexander Saununu tidak berdaya menahan gempuran Thailand di Semifinal, beruntung kiper Loudy tampil bagus, Indonesia hanya kalah 0-1. Di perebutan perunggu Indonesia dikalahkan Singapura 1-3 sedangkan Thailand keluar sebagai juara.
Berkaca pada tragedi Sea Games 1993 dimana tim nasional kita bermain tanpa tenaga maka di Sea Games 1995 di bawah komando pelatih kawakan Ramona Matte memakai banyak tenaga muda alumni primavera. Pertemuan dengan Thailand terjadi pada partai pertama, sempat membuat kejutan melalui gol Widodo C. Putro timnas Kita kalah 1-2. Lebih parahnya lagi timnas kita gagal lolos ke semifinal. Dalam ajang ini Thailand lagi-lagi menjadi juara.
Dua tahun kemudian pada Sea Games Jakarta 1997 di depan 100.000 suporter merah putih, timnas kita kalah secarat tragis melalui drama adu penalti. Padahal dibabak penyisihan sampai semifinal, timnas yang motori trio Fachry Husaini, Bima Sakti dan Ansyari Lubis ini bermain bagusdengan mengalahkan Malaysia 4-0 Laos 5-2 dan Singapura 2-1. Lagi-lagi dominasi Thailand sulit di runtuhkan.
Tahun 1998 di ajang Piala Tiger (AFF Cup) timnas kita bermain sepakbola gajah dengan sengaja mengalah dari Thailand 2-3 untuk menghindari pertemuan dengan Vietnam. Buruknya, Indonesia dan Thailand sama-sama gagal lolos ke partai final. Di perebutan tempat ketiga timnas kita menang adu penalty dari Thailand (8-7).
Pertemuan pertama kedua Indonesia dan Thaland di mellenium ini terjadi di ajang piala Tiger di Bangkok. Setelah kedua timnas gagal total di Piala Asia Lebanon 2000, kedua tim berada pada grup yang sama di babak penyisihan. Timnas Indonesia yang didukung duet striker Kurniawan DJ dan Gendut Dony gagal menghadang keganasan Thailand. 2 kali timnas kita kalah, yaitu 1-4 di grup dan 1-4 di partai final.
Periode 2001 sampai 2010
Predikat Thailand sebagai Raja Asia Tenggara kembali dibuktikannya di Piala Tiger 2002 di Jakarta, di final Timnas Thailand mengalahkan Indonesia melalui drama adu Penalti. Pada babak grup tim nasional Indonesia yang di perkuat Bambang Pamungkas, Zaenal Arif, Yaris Riyadi dkk bermain kurang taktis. Hal yang sama terjadi pada timnas Thailand, di grup terseok-seok tapi masuk semifinal dan final penampilan Thailand justru semakin baik. Bagi Indonesia kekalahan ini menambah rekor buruk belum pernah juara sejak Sea Games 1991.
Setelah lama timnas senior Indonesia dan Thailand tidak berjumpa dalam partai resmi, akhirnya melalui ajang Piala AFF 2008 keduanya bertemu di partai Semifinal dalam partai home & away. Bermaterikan sebagian besar pemain yang tampil di Piala Asia 2007 pertemuan keduanya beraroma balas dendam. Partai pertama di GBK Jakarta, timnas Indonesia yang sudah uzur tidak mampu meladeni permainan cepat Thailand, Indonesia kalah 0-1. Pertemuan kedua di Bangkok timnas Thailand kembali perkasa dengan menang 2-1, walau sempat tertinggal 0-1. Aggregat pun 1-3 dan meloloskan Thailand ke final, sayang di Final Thailand dikalahkan kuda hitam Vietman.
Terakhir pertemuan keduanya terjadi semalam. Timnas Thailand yang butuh kemenangan untuk lolos ke fase semifinal justru kalah dari musuh abadi yang sering ditaklukannya Indonesia 1-2. Bermateri pemain muda timnas Indonesia bisa menutup rivalitas dalam 2 dekade lebih dengan kemenangan manis 2-1. Rekor pun berubah menjadi 9 kemenangan untuk Indonesia dan 20 untuk Thailand serta 1 partai seri.
Bravo tim Nasional Indonesia..garuda di dadaku..garuda kebanggaan ku.

sumber :
http://footballfashion.org/
http://olahraga.kompasiana.com/bola/2010/12/08/25-tahun-rivalitas-indonesia-vs-thailand-data-fakta/


Kronologi ‘Perang’ Korea Utara – Korea Selatan


Seoul – Serangan artileri Korea Utara ke Korea Selatan membuat suasana di kawasan itu mendadak tegang. Provokasi dari Korut sungguh di luar dugaan.
Sejauh ini, tidak ada pihak di Korsel yang menduga akan mendapatkan bombardir peluru artileri. Seperti dilansir Reuters, Selasa (23/11/2010), provokasi memang dimulai oleh Korut.
Pada sekitar pukul 15.00 waktu Korea, atau 13.00 WIB, Korut tiba-tiba menembakkan artileri ke arah Pulau Yeonpyeong. Tidak lama kemudian, saksi mata melihat bangunan-bangunan di pulau itu terkena serangan bombardir.
Api kemudian langsung membara. Saksi mata mengatakan 60-70 rumah di Yeonpyeong kebakaran akibat serangan artileri.
Sekitar 10 menit kemudian, Korsel langsung membalas serangan artileri. Kedua pihak saling balas bombardir. Sementara saksi mata mengatakan warga Yeonpyeong dievakuasi ke dalam bungker.
Artileri Korut pun melumpuhkan listrik di Pulau Yeonpyeong, dua warga dilaporkan terluka. Asap mulai mengepul tinggi dari rumah-rumah warga. Pihak militer Korsel menyatakan status siaga tinggi.
Kebakaran semakin luas di Pulau Yeonpyeong. Beberapa rumah runtuh setelah terbakar hebat. Jet tempur Korsel langsung diterbangkan ke lokasi. Diperkirakan sudah sekitar 200 peluru artileri menghantam pulau itu.
Pemerintah Korsel langsung menggelar rapat mendadak. Mereka mengatakan akan mengambil tindakan tegas jika Korut melanjutkan provokasi. Namun Presiden Korsel Lee Myung-bak menyerukan upaya untuk meredam aksi saling tembak.
Satu jam berlalu atau sekitar pukul 16.00 waktu Korea, pihak Korsel menyerukan penghentian aksi saling bombardir. Warga Pulau Yeonpyeong mulau diungsikan ke luar pulau dengan perahu nelayan.
Perang bombardir berhenti. Militer Korsel mengumumkan satu tentara tewas, 13 luka-luka termasuk 3 orang luka berat.
cr : detiknews.com

Sunan Ampel

Di Rusia selatan ada sebuah daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal sebagai daerah Islam yang menelorkan ulama-ulama besar seperti sarjana hadist terkenal yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai perawi hadits sahih.
Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Orang jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutkan sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berda’wah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil menantu oleh raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan. Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Raden Rahmat atau Sayyid Ali Rahmatullah dan raden Santri atau Sayyid Alim Murtolo.
Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian Raden Rahmat itu keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan. Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya tidak kalah menarik dengan Dewi Sari.
Sehingga istri-istri lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara.
Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.
Ketika Dewi Kian di ceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir ke dunia.
Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden Hasan atau lebih terkenal dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabhumi. Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit.
Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri ia mengajukan pendapat kepada suaminya.
“Kanda Prabu, agaknya para ponggawa dan rakyat Majapahit sudah tidak takut lagi kepada Sang Hyang Widhi. Mereka tidak segan dan tidak merasa malu melakukan tindakan yang tidak terpuji, pesta pora, foya-foya, mabuk dan judi sudah menjadi kebiasaan mereka bahkan para pangeran dan kaum bangsawan sudah mulai ikut-ikutan. Sungguh berbahaya bila hal ini dibiarkan berlarut-larut. Negara bisa rusak karenanya.”
“Ya, hal itulah yang membuatku risau selama ini,” sahut Prabu Brawijaya.
“Lalu apa tindakan Kanda Prabu ?”
“Aku masih bingung,” kata sang Prabu. “Sudah kuusahakan menambah bikhu dan brahmana untuk mendidik dan memperingatkan mereka tapi kelakuan mereka masih tetap seperti semula, bahkan guru-guru agama Hindu dan Budha itu dianggap sepele.”
“Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.
“Betulkah ?” tanya sang Prabu.
“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi Candrawulan di Negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.”
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.” Kata Raja Brawijaya.
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.
Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman. Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan di atas, ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho.
Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan didesa tersebut yang masih termasuk ke camatan Palang kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berda’wah keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat sambutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berda’wah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia ?” tanya sang Prabu. Dengan sikapnya yang sopan tutur kata halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab. “Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.”
“Bagus !” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”
“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi Candrawati. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu raja Majapahit. Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Sayyid Ali Rahmatullah ke sebuah daerah di Surabaya yang disebut sebagai Ampeldenta.
Selama dalam perjalanan banyak hal-hal aneh di jumpai rombongan itu. Diantaranya adalah pertemuan Sayyid Ali Rahmatullah dengan seorang gadis bernama Siti Karimah yang kemudian menjadi isterinya. Dan sepanjang perjalanan itu beliau juga melakukan da’wah sehingga bertambahlah anggota rombongan yang mengikuti perjalanannya ke Ampeldenta. Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada jaman dulu di tandai dengan nama depan Raden. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat. Dan karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel.
Sunan artinya yang di junjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Langkah pertama yang dilakukan Raden Rachmat di Ampeldenta adalah membangun masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sewaktu hijrah ke Madinah. Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kapada beliau.
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Mo Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu: main judi, minum arak atau bermabuk-mabukkan, mencuri, madat atau menghisap madu dan madon atau main perempuan yang bukan isterinya.
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan diseluruh Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmatpun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah putra Sunan Ampel sendiri.
Jasa beliau yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya kerajaan Islam dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah, murid dan menantunya sendiri. Beliau juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.
Sikap Sunan Ampel terhadap adapt istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para Wali di masjid Agung Demak.
Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel :
“Apakah tidak mengkwatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah ?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekuatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.”
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah.
Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati atau Nyai Ageng Manila Sunan Ampel mendapat beberapa putra di antaranya :
1. Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
2. Raden Qosim atau Sunan Drajad.
3. Maulana Akhmad atau Sunan Lamongan.
4. Siti Mutmainah
5. Siti Alwiyah
6. Siti Asikah yang diperistri Raden Patah.
Adapun dari perkawinannya dengan Nyai Karimah putri Ki Wiryosaroyo beliau dikaruniai dua orang putri yaitu :
1. Dewi Murtasia yang diperistri Sunan Giri.
2. Dewi Mursimah yang diperistri Sunan Kalijaga.
Kehebatan para Wali tersebut memang mengagumkan, sebagai bukti adalah kesiapan mereka dalam menerima adanya perbedaan pendapat. Dalam hal adat istiadat rakyat Jawa sudah jelas Sunan Ampel berbeda pendapat dengan Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati. Tetapi mereka tetap bisa hidup rukun damai tanpa terjadi percekcokan yang menjurus pada pertikaian. Bahkan Sunan Kalijaga yang terkenal sebagai pelopor penjaga aliran lama itu menjadi menantu Sunan Ampel.
utra Sunan Ampel sendiri yaitu Sunan Bonang adalah pendukung pendapat Sunan Kalijaga. Sunan Drajad atau Raden Qosim yang juga putra Sunan Ampel pada akhirnya juga memanfaatkan gamelan sebagai media dakwah yang ampuh untuk mendekati rakyat Jawa agar mau menerima Islam. Itulah jiwa besar yang dimiliki para Wali. Saling menghargai medan perjuangan masing-masing anggotanya.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel. Setiap hari banyak orang yang berziarah ke makam beliau bahkan pada malam harinya juga.
Semoga Allah manaikkan beliau ke derajat yang tinggi, drajad para auliya muqorrobin sumber  :http://tokohsejarah.blogspot.com/2009/09/sunan-ampel.html

Brawijaya V (Bhre Kertabhumi)

Prabu Brawijaya (lahir: ? - wafat: 1478) atau kadang disebut Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri, setelah berhasil menaklukan Bhre Kertabhumi.

Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya[rujukan?] yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga saudara tiri Arya Damar.[rujukan?]

Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Campa. Patihnya bernama Gajah Mada. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.

Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan.

Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:

  • Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
  • Prabu Brakumara
  • Prabu Brawijaya I
  • Ratu Ayu Kencanawungu
  • Prabu Brawijaya II
  • Prabu Brawijaya III
  • Prabu Brawijaya IV
  • dan terakhir, Prabu Brawijaya V

Sering terjadi kesalah pahaman dgn menganggap Brawijaya (bhre Kerthabumi) sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton Trowulan, dan memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha.

Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.

Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya.[rujukan?] Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.

Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.

Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara.[rujukan?] Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.

Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.

Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa[rujukan?] sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun "ditempatkan" sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.

Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan masyarakat Jawa[rujukan?] berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha.

Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis:

Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400.

Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu.[rujukan?] Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.

Teori yang cukup populer[rujukan?] menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.

Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik[rujukan?] dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.


Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang.

Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.

Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.

Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.

Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat.

Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.

Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina.

Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi, antara lain:

  • Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk Islam melalui Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Pulau Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat ini uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer dalam masyarakat Jawa.
  • Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
  • Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja terakhir Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi) adalah Bhre Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun 1478.

Jumat, 12-11-2010 RSS Feed

Adolf Bramandita

Brawijaya V Antara Fakta Dan Mitos Di Pesisir Pantai Gunung Kidul

Rabu, 27-05-2009 17:12:05 oleh: Adolf Bramandita
Kanal: Opini

Brawijaya V Antara Fakta Dan Mitos Di Pesisir Pantai Gunung Kidul

Masyarakat Jawa cukup kental dengan nuansa spiritualitas yang berhubungan dengan leluhur. Tidak salah memang, walaupun di dalam masyarakat Jawa sendiri sudah banyak menganut agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Melihat kembali beberapa ratus tahun yang lalu, bahwa kehidupan masyarakat tidak lepas dari kepercayaan kepada leluhur. Dari kepercayaan leluhur ini, masyarakat Jawa khususnya membangun kehidupannya.

Leluhur, bagi masyarakat Jawa dianggap sebagai yang bercikal bakal. Artinya leluhur dipercayai sebagai wujud dari sebuah komunitas masyarakat yang sedang berkembang sampai terbentuknya sistem di dalamnya. Proses berkembangnya komunitas sampai pada kehidupan masyarakat yang paling mendasar, yaitu kepercayaan. Masyarakat membutuhkan sarana untuk sampai pada yang memberikan hidup dan segala alamnya. Terbangunnnya kepercayaan ini, tidak lepas dari peran leluhur yang dipercayai memberikan kenyamanan dan kehidupan yang lebih baik. Agama apapun yang dianut masyarakat Jawa sekarang ini, tidak akan pernah lepas dari unsur kepercayaan terhadap leluhur.

Kemudian apa hubungannya dengan judul di atas? Di kawasan pesisir pantai selatan kabupaten Gunung Kidul, ada sebuah kepercayaan yang berkembang di masyarakat sekitar. Di salah satu pantai ini, dipercaya oleh penduduk setempat sebagai lokasi dimana Prabu Brawijaya V raja terakhir Majapahit melarikan diri, karena runtuhnya Majapahit. Di tempat ini pula Sang Raja moksa (hilang tanpa meninggalkan badan jasmani). Cerita ini berkembang selama bertahun-tahun tanpa ada bukti nyata kehadiran Sang raja di pantai ini (kalaupun ada mungkin hanya orang tertentu saja yang tahu).

Dari cerita atau mitos ini tentunya bisa ditarik kesimpulan bahwa, sejarah kehadiran sang raja bisa dipercaya atau tidak. Berkembang pula sebuah keyakinan mengenai cikal bakal dari masyarakat Gunung Kidul yang merupakan keturunan Majapahit yang melarikan diri karena kejaran tentara Islam Demak. Memang untuk membuktikan mitos atau cerita yang berkembang di masyarakat ini sangat sulit. Namun masyarakat setempat sangat percaya dengan cerita yang turun temurun mereka dengar dari para leluhur dahulu. Sebuah cerita yang berkembang di masyarakat bisa dipercaya sebagai fakta ataupun hanya mitos, tergantung dari sudut pandang kita menganalisa.

Sebagai contoh , faktanya bahwa cerita ini berkembang dengan sangat kuat dan terpendam cukup lama di tengah masyarakat. Terlepas dari ditambah ataupun dikuranginya cerita mengenai kehadiran sang raja atau masyarakat keturunan Majapahit tersebut. Kedua cerita ini bisa saling dikaitkan dari latar belakang keruntuhan Majapahit sekitar abad ke 15.

Pertama, bisa saja cerita bahwa masyarakat Gunung Kidul adalah keturunan dari pelarian Majapahit adalah sebuah fakta. Hal ini bisa dilihat dari sudut pandang geografis Gunung Kidul yang merupakan daerah pegunungan (hutan dan goa cukup banyak di tempat ini). Tentunya daerah ini aman bagi pelarian dari Majapahit.

Kedua, cukup banyak masyarakat Gunung Kidul yang beragama Hindhu Jawa. Masyarakat Hindhu ini, beberapa ditemukan di daerah pesisir pantai beserta bangunan pura. Memang sejak awal bahwa masyarakat nusantara ini menganut agama Hindhu, Budha dan animisme maupun dinamisme, namun bukan berarti dengan ditemukannya komunitas masyarakat Hindhu bisa menjadi pembenaran alasan kedua.

Ketiga, komunitas masyarakat Hindhu Jawa di daerah ini cukup kuat dengan masih mempertahankan tradisi agama mereka. Keempat dari sudut pandang politik, pelarian masyarakat Majapahit ke daerah ini beralasan. Karena kalau mereka melarikan diri keutara tentunya sudah dikuasai oleh tentara Demak dan di daerah utara pula (sekitar pantai utara Jawa) banyak ditemukan komunitas para pedagang beragama Islam. Ini akan menjadi sangat berbahaya apabila mereka melarikan diri ke wilayah pesisir utara. Satu-satunya jalan melarikan diri tentunya ke wilayah barat dan timur (dalam hal ini sebagian bangsawan Majapahit melarikan diri ke Bali), sedangkan di barat wilayah Gunung Kidul cocok untuk melarikan diri. Daerah ini pula secara politis tidak dikuasai oleh Kerajaan Islam Demak, setidaknya pengaruh kekuasaannya tidak sampai ke pesisir pantai selatan.

Apa hubungannya antara keturunan Majapahit dengan Kehadiran Brawijaya V? Sebagai seorang Raja yang diyakini masih keturunan dewa, tentunya kehadirannya sangat dinantikan. Bisa juga Raja masih terikat secara emosional dengan rakyatnya. Dengan begitu di saat rakyatnya melarikan diri ke suatu wilayah, sosok kewibawaan sang Raja terbawa di tempat pelarian. Hal ini dilakukan sebagai wujud legitimasi perlindungan sang Raja terhadap rakyatnya di tempat pelarian. Maka untuk lebih mempererat senasib sepenanggungan, sosok sang Raja ini dimunculkan selama proses pelarian. Agar ada kesan bahwa kesetiaan sang Raja terhadap rakyatnya sampai pada ujung bumi. Dengan minimnya bukti konkret, masyarakat secara luas kiranya bisa memberi persepsi yang berbeda. Dengan adanya bangunan keagamaan dan kepercayaan di pantai ini, bolehlah kita memberi penghargaan yang luar biasa. Sebab ada hal yang bisa dipelajari dari sebuah multikulturalisme. Yaitu keterbukaan akan sebuah perbedaan serta menghormati. Namun apapun itu, kiranya kita harus menghargai cerita yang berkembang sebagai wujud penghormatan akan nilai-nilai religiusitas di tengah masyarakat yang majemuk.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=14435

Pangeran Benowo (Kanjeng Adipati Pengging/ Pangeran Benowo/ Pangeran Hadipati Benowo / Sultan Prabuwijaya)

Setelah Sultan Hadi Wijaya (Jaka Tingkir) Sultan Pajang meninggal mestinya yang berhak menggantikan kedudukannya adalah Pangeran (sunan) Benowo, yang merupakan putera mahkota. Namun kenyataan berkata lain. Menurut Sunan Kudus, Aryo Pangiri lah yang berhak karena merupakan putra tertua meskipun putra menantu dan dia juga putera raja (Sunan Prawoto raja Demak). Oleh karena Sunan Kudus tetap berpegang pada pendapatnya, mak Pangeran Benowo harus rela menempati jabatan baru sebagai Bupat Jipang Panolan. Mungkin peristiwa ini yang disebut bahwa Pangeran Benowo Sakit Penggalihipun. Kemudian Aryo Pangiri dinobatkan sebagai raja Pajang, namun tidak berselang lama. Karena dalam kepemimpinannya banyak menyengsarakan rakyat sehingga tidak disukai rakyat dan banyak desakan maka Pangeran Benowo atas pertimbangan saudaranya, Senopati Sutowijoyo, merebut kembali kerajaan pajang dari tangan Aryo Pangiri dan berhasil. Aryo Pangiri kalah dan dikembalikan ke Demak bersama seluruh keluarganya. Selanjutnya Pangeran Benowo menduduki jabatan sebagai sultan namun hanya satu tahun kemudian digantikan oleh Senopati Sutowijoyo dan pemerintahan beralih menjadi Kerajaan Mataram.

Dalam catatan Amien Budiman pada Babad Tanah Jawi bahwa Pangeran Benowo setelah hanya bertahta satu tahun, pergi ke Sedayu Jawa Timur kemudian menuju ke Barat dan sampai di Hutan Kukulan daerah Kendal bersama para pengiringnya, Kyai Bahu, Kyai Wiro dan dua lagi tidak diceritakan namanya. Selama di hutan itu Pangeran Benowo merasakan sejuk hatinya melihat padang yang luas, sedang tanahnya baik dan rata. Hanya sayang tempat itu tidak ada sungai. Pangeran Benowo memberitahukan kepada sahabatnya tentang tidak adanya sungai itu, dan mereka mengatakan memang sebaiknya Pangeran Benowo membuat sungai.

Kyai Bahu dan Kyai Wiro diperintahkan menyudet sungai di dekat tempat itu hingga airnya bisa mengalir ke hutan dan menyenagkan hati mereka yang bermaksud bertempat tinggal di kawasan itu. Pangeran Benowo bersama empat sahabatnya pergi ke sungai lotud. mereka menjumpai tempat yang agak datar dan memudahkan aliran air. Kemudian Pangeran Benowo menyudet sungai itu dengan menggunakan tongkat. Aliran sungai itu mengalir ke arah timur laut sampai di hutan yang akan dijadikan pemukiman mereka.

Waktu itu kebetulan sudah masuk waktu subuh. Pangeran Benowo bermaksud berhenti di tempat itu untuk melakukan sholat subuh. Adzan subuh dilakukan sendiri oleh Pangeran Benowo mendengar ada suara yang menjawab adzan yang diucapkan. Suara itu datang dari lurus arah timur tempat Pangeran Benowo melaksanakan sholat subuh. Peristiwa aneh tersebut disampaikan pada keempat sahabatnya.

Oleh Pangeran Benowo kemudian diperintahkan kepada para sahabatnya untuk mencari dimana asal suara yang menjawab adzannya. Namun mereka tidak menemukan apa-apa, hanya tiga buah makam dan ketiganya bernisan batu. Sayangnya dalam Babad Tanah Jawi tidak menyebut tiga makam itu milik siapa. Pangeran Benowo memeriksa ketiga makam itu secara teliti. Sedang di sebelahnya adalah sebuah pohon besar yang sudah berlubang, yang disebutnya pohon kendal. Kyai Bahu dan Kyai Wiro serta dua rekannya diperintahkan oleh Pangeran Benowo agar tinggal di hutan itu dan membuatnya menjadi tempat pemukiman. Desa itu kemudian diberi nama Desa Kendal.

Sedangkan Pangeran Benowo bermaksud tinggal di hutan sebelah selatan yang letaknya berdekatan dengan sudetan sungai. Ia berjalan ke arah selatan dengan diikuti oleh tiga sahabatnya, karena Kyai Bahu diperintahkan untuk tinggal di tempat yang baru dibuka itu. Sampai di hutan Tegalayang, Pangeran Benowo berhenti untk bertapa ngluwat, bertapa dengan mengubur dirinya dalam sebuah lubang. Lubang dipersiapkan oleh ketiga sahabatnya, dan selanjutnya Pangeran Benowo masuk di dalamnya, dan ketiga sahabatnya agar menutupnya. Sebelumnya dipesankan oelh Pangeran Benowo, bila sudah mencapai empatpuluh hari, maka lubang itu diminta untuk dibuka.

Setelah lebih satu bulan, datang dua utusan dari Mataram sambil membawa surat dari Panembahan Senopati yang akan diberikan kepada Pangeran Benowo, namun tidak dijumpai di tempat tersebut. Sebaliknya, mereka hanya bertemu dengan seorang pande besi yang bediam di hutan itu namanya Kyai Jebeng Pegandon. Kedua utusan itu mengira bahwa pande besi itu adalah Pangeran Benowo, maka disampaikan surat itu kepadanya sambil memberitahukan bahwa Pangeran Benowo diundang oelh Panembahan Senopati. Karena merasa dirinya buka Pangeran Benowo, maka Kyai Jebeng Pegandon si tukang besi itu menjawab:
"Bawalah pulang surat itu. Aku tidak mau diundang, dan lagi pula aku tidka mau mengabdi pada raja".

Kedua utusan itu pulang dan memberi laporan kepada Panembahan Senopati bahwa Pangeran tidak mau. Dan oleh Panembahan Senopati memang dua utusan tersebut telah keliru. Maka mereka diperintahkan kembali ke hutan mencari Pangeran Benowo di sebelah selatan hutan itu. Di samping itu juga mereka diperintahkan mendatangi lagi Kyai Jebeng Pegandon si pande besi sambil membawa wewdhung panelasan (pisau raut besar bersarung untk menghabisi nyawa seseorang) untuk memancung leher pande besi tersebut.

Para utusan Mataram itu kembali ke hutan Kendal dan terlebih dahulu menuju ke tempat Kyai Jebeng Pegandon dan memberi tahu maksud kedatangannya atas perintah Panembahan Senopati. Kemudian Kyai Jebeng dibunuh dengan menggunakan wewedang dan jenazahnya dimakamkan di Pegandon.

Akhirnya kedua utusan tadi sampai di hutan Tegalayang dan mereka bertemu dengan ketiga sahabat Pangeran Benowo yang sedang menunggui lubang tempat bertapa Paengeran Benowo. Kedua utusan tadi menanyakan keberadaan Pangeran Benowo. Oleh Kyai Wiro, dijelaskan bahwa Pangeran Benowo sedang bertapa ngluwat baru sebulan lebih empat hari. Oleh Kyai Wiro disarankan memang sebaiknya kedua utusan itu bersabar dan mau menunggu karena bertapanya hanya tingga enam hari lagi. Dan sebagaimana pesan Pangeran Benowo, pertapaannya dibuka kembali setelah masa empat puluh hari oleh Kyai Wiro. Alangkah terkejut, ketika lubang terbuka ternyata Pangeran Benowo tidak ada di tempat, lubang itu kosong. Setelah kesana kemari dicari akhirnya Pangeran Benowo dijumpai sedang duduk tafakur menghadap ke arah barat.

Setelah meminta izin sowan, Kyai Wiro menyampaikan ada utusan dari Mataram, kemudian Pangeran Benowo mempersilahkan untuk bertemu dengannya. Maka kedua utusan itu menghaturkan surat dari Panembahan Senopati. Surat diterima dan dibaca, ternyata isinya Pangeran Benowo diminta untuk datang ke Mataram. Adapun sebabnya, yang pertama kakandanya rindu, dan yang kedua, apa saja kehendak Pangeran Benowo akan dituruti Panembahan Senopati. Pangeran Benowo menolak. "Aku tidak mau ke Mataram Jika kakanda Senopati mempunyai kehendak apapun, aku wakilkan kepada Kyai Bahu saja. Kakanda tidak usah membuat surat lagi". Kemudian Kyai Bahu dibawakan kepada kedua utusan tersebut ke Mataram.

Pangeran Benowo selanjutnya tinggal di hutan/gunung Kukulan. Akan tetapi selang beberapa hari ia pergi dari tempat itu ke arah utara, mencari tempat tinggla yang lebih baik. Akhirnya ia menjumpai tempat yang bagus, berada di pinggir sungai. Bersama ketiga sahabatnya, Pangeran Benowo tinggal di tempat itu. Tidak lama kemudian banyak orang berdatangan ingin bertempat tinggal dan belajar kepadanya. Tempat itu kemudian menjadi desa, diberi nama Desa Parakan (amargi kathah tiyang ingkang sami dateng umarak ing Kanjeng Pangeran/karena banyak orang yang datang dan menghadap Kanjen Pangeran).

Kemudian timbul pertanyaan dimanakah yang dimaksud dengan desa arakan itu? apakah Parakan yang sekarang ini merupaka sebuah tempat di Kabupaten Temanggung? Kalau tempat itu yang dimaksud, mestinya perjalanan Pangeran Benowo ke arah selatan bukan ke arah utara, sedangkan hutan Kukulan sebuah tempat yang letaknya kurang lebih 2 km dari Desa Sojomerto sekarang ini. Karena arah perjalanan Pangeran Benowo dari gunung/hutan Kukulan ke arah utara, tidak tertutup kemungkinan bahwa desa itu bernama Pakuncen masuk Kecamatan Pegandon.

Di desa itu ada masjid peninggalannya, ada sumur dan bahkan ada sebuah genthong yang konon katanya berasal dari Demak, namanya Genthong Puteri. Diceritakan juga bahwa genthong itu semula satu pasang, yang berarti ada dua buah, dimana yang satu tetap berada di Demak. Konon kedatangan genthong itu datang sendiri dari Demak lewat sungai dengan dikawal oelh seekor kebau, yang diberi nama "Kebo Londoh", yaitu jenis kerbau yang kulitnya putih. Orang JAwa menyebutnya "Kebo Bule".

Genthong itu sekarang ditanam di (serambi) bagian selatan masjid, dan hanya mulut genthongnya yang kelihatan. Genthong itu diyakini sebagai satu kesatuan dengan sumur yang ada di sebelah selatan masjid. Oleh masyarakat, air sumur itu bisa sebagai sarana pengobatan, dan hal itu sudah banyak yang membuktikan. Caranya, air dari sumur dimasukkan ke dalam genthong puteri dan dari genthong itulah diambil airnya. Makam Pangeran Benowo berada di belakang masjid Pakuncen.

Setelah sampai di keraton Mataram, Kyai Bahu menerima tugas dari Panembahan Senopati agar usahanya membuka hutan dan tanah serta membuat tempat pemukiman di kawasan hutan Kendal supaya dilanjutkan menjadi suatu negeri, sedang penghasilannya diserahkan kepada Pangeran Benowo. Di samping itu Pangeran Benowo diangkat derajatnya oleh Panembahan Senopati dengan nama Susuhunan Parakan. Sedangkan Kyai Bahu diberi nama kehormatan Kyai Ngabehi Bahurekso.


sumber : buku Babad Tanah Kendal karya Ahmad Hammam Rokhani

Emha Ainun Nadjib: Saatnya Pangeran Benowo Tampil ke Gelanggang

Yayan Mulyana

Dalam wacana yang saya pakai, dan itu sudah saya
kemukakan kepada Gus Dur sejak sebelum pemilu: Gus Dur
menjadi presiden ini dalam rangka membayar dua macam
utang. Utang yang pertama, mohon maaf, Gus Dur membayar
utang sejarahnya Sunan Kalijogo dan Sunan Kudus yang
gagal me-menej konflik politik dan keagamaan antara Aryo
Penangsang (Jipang) dengan Sultan Hadiwijaya (Pajang)
yang diwakili oleh Sutawijaya.

Konflik itu sebenarnya berlangsung antara Islam dengan
'abangan' atau 'sekularisme'. Konflik mereka membawa
akibat terbunuhnya Aryo Penangsang, dan terus
berkepanjangan sehingga putranya Sultan Hadiwijaya, yaitu
Pangeran Benowo, menyingkir (istilah NU-nya ''kembali ke
khittah''), tidak berpolitik dan mendirikan pesantren.
Maka, kekuasaan kemudian dari Pajang bergeser ke Mataram
di mana putra angkatnya Hadiwijaya yaitu Sutawijaya alias
Panembahan Senopati menjadi raja pertama.

Silakan Anda mempelajari khasanah mengenai budaya politik
Mataram, policy-nya kepada Umat Islam -- kecuali periode
Sultan Agung, yang kemudian dirusak lagi oleh cucunya --
jenis feodalismenya, dan lain-lain, sangat mirip Orde
Baru. Maka, saya katakan kepada Gus Dur jangan Sultan
HB-X yang jadi presiden, karena beliau itu terusannya
Mataram-Panembahan Senopati.

Sedangkan Gus Dur adalah keturunan ke-12 Pangeran Benowo,
yang dulu 'lari' dari gelanggang politik -- mirip seperti
Gus Dur 'kembali ke khittah' -- padahal Nusantara sedang
amburadul. Kalau dulu yang terbunuh hanya Aryo
Penangsang, selama Orde Baru dan Orde Habibie yang
terbunuh sangat banyak, dari Tanjungpriok dulu sampai
Ambon. Bahkan, konsep ''persaudaraan nasional'' model
Mataram yang diterapkan Orba melalui pemahaman 'SARA'
juga memproduk terbunuhnya banyak golongan yang lain.

Memang sudah saatnya 'Pengeran Benowo abad 20/21' tampil
ke gelanggang, agar 'utang' Sunan Kalijogo dan Sunan
Kudus dalam membangun persaudaraan nasional bisa dibayar.
Orang Jombang mengatakan ''yang bikin bingung Indonesia
adalah orang Jombang, tapi yang mengatasi masalah juga
orang Jombang.'' Pangeran Benowo dulu 'lari' ke daerah
Banyumas, dan komunitasnya kemudian menyebar sampai
kembali ke daerah asal-usulnya, yakni Mojopahit alias
Jombang. Perguruan silat yang ada di Jombang asal-usulnya
adalah Banjarnegara-Banyumas.

Tapi kalau itu Anda tanyakan kepada Gus Dur, ia akan
nyengenges: ''Ah, itu karangannya Cak Nun saja ...''
seperti dulu waktu Gus Dur hendak menjemput Pak Harto ke
Masjid Istiqlal untuk berikrar husnul khatimah pada
tanggal 7 Maret 1999, Gus Dur menjawab dengan kalimat
seperti itu. Guyonnya Gus Dur memang mengasyikkan. Kalau
Anda mau, kapan-kapan saya ungkapkan humor Gus Dur yang
luar biasa: soal cawat, kencing di wastafel, bantal hotel
mewah, dan lain-lain.

Kemudian utang kedua?

Bayar utang yang kedua adalah bahwa dalam waktu yang lama
Gus Dur dikenal sebagai tokoh Islam yang amat sering
membikin bingung umat Islam. Bahkan kiai-kiai NU sendiri
selalu bingung memahami Gus Dur. Terkadang bahkan ia
dituduh terlalu mbelain umat lain daripada umatnya
sendiri. Itu soal psiko-kultur dan psiko-politik.
Sekarang Tuhan memberi peluang kepada Gus Dur untuk
'menghibur' umat Islam, utamanya kaum Nahdhliyin. Karena
toh suara voting kepresidenan Gus Dur berasal dari banyak
orang yang dulu merasa dikecewakan olehnya.

Bagaimana prediksi Cak Nun setelah Gus Dur menjadi
presiden?

Rekayasa Tuhan selalu sangat indah. Caranya Tuhan
membikin urutan adegan ketika pembacaan hasil voting
kemarin sore saja sangat dramatis. Mega dibikin melesat
jauh dulu sampai beda 40 suara, kemudian bersaing di
tengahnya, baru kemudian Gus Dur melesat. Siapa yang
menyusun tumpukan kertas itu?

Indonesia sedang sakit keras, dan Tuhan menentukan
pemimpinnya adalah juga lelaki hampir tua yang sakit,
susah melihat, dengan Ibu Negara yang juga duduk di kursi
roda. Seluruh Indonesia menjadi mengerti dan terdorong
untuk belajar rendah hati, belajar mengkonsentrasikan
diri pada kekurangan-kekurangan diri dan bukan
menomersatukan kekurangan orang lain.

Siapa pun sekarang tidak gampang menyikapi pemerintah.
Gus Dur tidak bisa dikotak dalam suatu kategori, baik
aliran politiknya, pemikiran budayanya, serta berbagai
kecenderungannya. Kita gampang ngasih ''cap'' kepada
Soeharto atau Habibie, tapi apa 'cap'-nya Gus Dur? Anda
akan uring-uringan melihat bagaimana ia nanti menangani
kasus KKN-nya Pak Harto, tapi Anda juga akan kaget
menyaksikan bagaimana sepak terjangnya soal Gerakan Aceh
Merdeka atau Republik Maluku Selatan.

Anda menyebut dia modernis, sehingga Anda bingung melihat
Gus Dur rajin ziarah ke banyak makam ulama, bahkan terus
kontak dengan Kiai Abdullah Faqih, Kiai Abdullah Salam,
Kiai Dimyati, dan dua Kiai Semar. Anda akan dibikin
kagum, tapi juga jengkel. Anda akan telanjur meremehkan
dan memarahinya pada suatu hari, tapi kemudian Anda
geleng-geleng kepala. Orang NU bilang Gus Dur itu
waliyullah. Wali itu apa? Ialah orang yang keliru
menentukan arah tendangan bola, tapi nanti tahu-tahu
Tuhan memindahkan letak gawangnya, sehingga tendangan itu
menghasilkan gol.

Apa itu maknanya? Gerakan reformasi dituntut untuk
memperbaharui ilmunya, wacananya, sumber aspirasi dan
inspirasinya. Tak hanya horizontal, tapi juga 'terpaksa'
vertikal. Misalnya, bagaimana mungkin Anda omong
'Masyarakat Madani' sambil mengacuhkan Muhammad saw dan
terutama konsep hijrahnya?

Kepemimpinan Gus Dur akan tidak hanya menjadi fenomena
nasional, tapi juga internasional. Tidak hanya
kenyataannya bahwa ia menjadi presiden, tapi juga
pola-pola tingkah laku politiknya, model-model
pemikirannya, langkah-langkahnya yang sering antiteori.

Dulu Gus Dur meramal: sebelum tahun 2000 Palestina akan
merdeka, Iran akan menjadi moderat, tapi Indonesia akan
menjadi negara Islam ekstrem. Sekarang Gus Dur telah
berhasil satu langkah 'membatalkan' point ramalan yang
ketiga. Kalau Mega naik sekarang, ramalan itu akan
mewujud. Tapi Allah memperkenankan manusia untuk 'menawar
takdir', karena manusia adalah khalifah-Nya, adalah
mandataris-Nya.

Gus Dur juga merupakan presiden paling lucu dan penuh
humor sedunia. Humornya bisa humor murni, bisa humor
kesenian, bisa humor sebagai pola perilaku politik. Gus
Dur juga merupakan presiden paling ''cuek'' sedunia,
paling pengantuk sedunia, paling santai -- dan itu akan
sangat menghibur, meskipun bisa juga menjengkelkan. Kita
akan lihat bagaimana Gus Dur meladeni diplomasi
internasional, rentenir IMF, keculasan Amerika Serikat,
kepengecutan PBB. Mungkin Gus Dur akan sangat radikal,
mungkin sangat arif.

Yang paling gampang dibayangkan adalah dia ditelepon Kofi
Annan tapi tiba-tiba ia mengantuk dan teleponnya jatuh.
Bisa karena benar-benar ngantuk, bisa dingantukkan oleh
malaikat, bisa merupakan strategi diplomatik. Bisa Anda
bayangkan juga kalau Gus Dur harus naik Jeep memeriksa
barisan TNI. Saya menyarankan Gus Dur bilang saja sama
Pangab: ''Wis apik! Apik! (Sudah bagus). Gagah-gagah
semua! Ganteng-ganteng semua ...!'' Insya Allah Gus Dur
akan melakukan segala sesuatu yang bisa mencairkan
berbagai polarisasi politik, etnik, keagamaan dalam
masyarakat. Gus Dur mestinya akan serius melebur
dikotomi-dikotomi, pihak-pihak, perbedaan-perbedaan, dan
mengajari bangsanya untuk lebih lembut hatinya dan luas
jiwanya, syukur adil pikirannya.

Kita berdoa semoga Gus Dur mampu mempersaudarakan kembali
bangsa Indonesia sebagaimana dulu Rasulullah Muhammad saw
mempersaudarakan umat Islam, umat Nasrani, dan Yahudi, di
Madinah.

Gus Dur mengatakan kepada saya Senin sore itu bahwa ia
membutuhkan pendamping yang memiliki sense of politics
dan itu ditemukannya pada Akbar Tanjung. Megawati sangat
disayanginya, dan tentu pada saatnya nanti Ibu kita ini
juga kalau bisa menjadi presiden, sebagaimana tokoh kita
yang lain Pak Amien Rais.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1999

Joko Tingkir

Pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1549-1582, bergelar Sultan Adiwijaya.

Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.[1] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.

Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).

Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.

Silsilah Jaka Tingkir :

Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir

Babad Tanah Jawi selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka Tingkir pandai menarik simpati Sultan Trenggana sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.

Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan SADAK KINANG. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.

Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro(saudara seperguruan ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke Demak bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.

Rombongan Jaka Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman buaya menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan.

Saat itu Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau gila yang dinamakan sebagai Kebo Danu yang sudah diberi mantra (diberi tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan Sultan di mana tidak ada prajurit yang mampu melukainya.

Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Sultan Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.

Kisah dalam naskah-naskah babad tersebut seolah hanya kiasan, bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di Demak, dan ia tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, ia pun mendapatkan simpati Sultan kembali.

Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempa, putri Sultan Trenggana.

Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, putranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian ia tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya juga membunuh ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu ia menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan adik Kandung Sultan Trenggono sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu Aryo Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara.

Kemudian Aryo Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.

Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Adiwijaya agar menumpas Aryo Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.

Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan mentaok/Mataram sebagai hadiah.

Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.

Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Adiwijaya sebagai sultan pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Suan Prawoto yang menjadi Adipatinya

Sultan Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.

Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan Adiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.

Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi sultan usai kematian Arya Penangsang.

Sunan Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah Mataram pada kakak angkatnya itu.

Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.

Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Sultan Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri.

Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan.

Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Sultan Adiwijaya dengan para adipati Bang Wetan. Sunan Prapen berhasil meyakinkan para adipati sehingga mereka bersedia mengakui kedaulatan Kesultanan Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya.

Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.

Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.

Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir.

Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan Adiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.

Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.

Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.

Maka sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Sultan Adiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.

Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.

Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.

Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.

Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.

Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.

Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.

Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.

Sultan Adiwijaya memiliki beberapa orang anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan Arya Pangiri bupati Demak. Arya Pangiri sebenarnya adalah anak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang menggantikan Sultan Trenggono menjadi Raja Demak.

Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus (pengganti Sunan Kudus) untuk menjadi raja. Pangeran Benawa sang putra mahkota disingkirkan menjadi bupati Jipang. Arya Pangiri pun menjadi raja baru di Pajang, bergelar Sultan Ngawantipura.

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Joko_Tingkir